Minggu, 16 Agustus 2009



REFORMASI TRANSPORTASI PUBLIK DI JAKARTA : SEBUAH KISAH SUKSES

(Rangkuman makalah Jaka Nanda Ari Nugraha Visiting fellows/professor Graduate School of Environmental Studies, Nagoya University

Director of Centre for Transportation and Logistics Studies, Gadjah Mada University, Indonesia ,
pembicara pada Studium Generale bertema ”Sustainable Transportation System in DKI Jakarta” yang dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2007 di Nagoya University, Jepang
)


1. Gambaran Transportasi Umum di Jakarta

Jakarta sebagai ibu kota Indonesia memiliki tingkat perekonomian yang lebih baik dibandingkan dengan kota-kota lain. Dengan GDP yang relatif tinggi pada tahun 2004 sekitar $ 3,033 US, Jakarta dapat melewati masa krisi dan mengalami recovery cukup cepat.

Posisi Jakarta dikelilingi oleh daerah-daerah penyangga berpenduduk padat dan juga memiliki perekonomian yang cukup baik, yaitu Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi yang secara total memiliki populasi penduduk sekitar 15.4 juta. Ditambah dengan populasi Jakarta yang berkisar 8.5 juta jiwa, maka wilayah JABODETABEK dihuni oleh sekitar 22.7 juta jiwa. Kepadatan Penduduk Jakarta berkisar 11,300 jiwa per km2. Kondisi ini hampir menyamai kepadatan Tokyo, metropolitan Jepang.

Perkembangan JABODETABEK dapat dikatakan sebagai monocentric pattern yang menempatkan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis. Sebagian besar warga Jakarta bertempat tinggal di luar kota atau di daerah penyangga yang memerlukan 1-2 jam waktu tempuh untuk mencapai pusat ekonomi dan bisnis. Kondisi ini adalah salah satu penyebab kemacetan di Jakarta

Pada tahun 1970an pemakaian kendaraan umum sebesar 70% total pemakaian kendaraan di jalan. Angka ini mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu sebesar 57% di tahun 1985 dan hanya 45% di tahun 2000. Penurunan minat pengguna kendaraan umum disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena terjadinya motorisasi besar-besaran, bahkan lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis terjadi yaitu meningkat 16%-18% per tahun. Sekitar 5 juta kendaraan bertambah setiap tahun, dan tahun 2007 diperkirakan sekitar 35 juta populasi kendaraan. Kondisi lain yang menurunkan minat berkendaraan umum adalah ketidaknyamanan sarana transportasi, baik dari alat transport yang kurang pemeliharaan maupun gangguan keamanan. Naiknya peningkatan jumlah kendaraan pribadi secara otomatis menyebabkan polusi udara yang memperparah lingkungan di Jakarta dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar, yaitu US $ 181.4 juta di tahun 1985 dan diperkirakan akan meningkat menjadi US $ 402.64 di tahun 2015.

Transportasi publik di Jakarta dapat dikategorikan sebagai berikut : ojek, bajaj (13,000 kendaraan), taksi (22,000), mini bus (13,000 unit), metromini (6000 unit), bus (AC, economi, limited-stop, 5000 unit), BRT (busway, 230 unit) dan kereta listrik.

Berkebalikan dengan penduduk Jepang yang memanfaatkan kereta lebih besar daripada bis (pengguna bis hanya sekitar 5%), di Jakarta kereta hanya digunakan oleh 2% - 3% dari total penumpang. Kereta yang menghubungkan Jakarta dengan wilayah-wilayah penyangga ini pun sangat buruk kondisinya. Perkeretaan kita masih disubsidi oleh pemerintah dan parahnya lagi 2 dari 3 orang penumpang kereta tidak memiliki karcis (free rider), atau sekitar 60% total penumpang. Kereta-kereta listrik JABODETABEK pun sangat penuh sesak dan tidak ada dampak land use karena kondisi stasiun di Jakarta tidak sama seperti stasiun-stasiun di Jepang yang memiliki nilai komersial.

Masalah transportasi di Jakarta, tidak saja berupa buruknya sarana transportasi tetapi kemacetan yang hampir terjadi di setiap sudut jalan termasuk jalan tol, polusi yang muncul dari kendaraan pribadi dan kendaraan umum yang tidak terpelihara dengan baik. Sumbangan polusi terbesar adalah motor, bus, truk, dan mobil (Gb.1)

Gb.1 Dampak Emisi Beberapa Kendaraan di Jakarta pada Tahun 1998

2. Pengembangan Transportasi Bus di Indonesia

Perjalanan sejarah transportasi bis di Indonesia dapat dikelompokkan dalam lima generasi. Generasi pertama terjadi saat pemerintah menghentikan pengoperasian trem pada tahun 1970an di beberapa kota di Indonesia, lalu muncul kendaraan kecil seperti oplet. Tahun 1985 adalah generasi kedua dengan munculnya PPD. Saat itu terdapat kurang lebih 5 perusahaan bis besar. Pada era ini pula terjadi penggabungan (merger), restrukturisasi organisasi dalam pengelolaan transportasi bis di Indonesia. Tahun 1987 adalah generasi ke-3 yaitu dikembangkannya bis-bis besar seperti bis tingkat di beberapa kota di Indonesia. Tahun 1992, generasi ke-4, yaitu lajur bis yang diproriotaskan di sebelah kiri, namun sistem ini pun tidak bejalan dengan baik. Generasi kelima adalah pengoperasian busway.

Transportasi busway (BRT – Bus Rapid Transit) di Indonesia dikembangkan berdasarkan analisis faktor-faktor yang menyebabkan buruknya pengelolaan angkutan umum di Indonesia selama ini. Untuk tidak mengulang dan melakukan kesalahan yang sama maka berbagai konsep baru dalam transportasi publik dilaksanakan dalam sistem busway. Beberapa konsep tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah menanggung kerugian jika terjadi defisit. Pihak swasta sebagai penyelenggara tidak menanggung semua resiko.

2. Proses lisensi kendaraan yang “berbau” korupsi dihilangkan

3. Sistem rute yang jelas sehingga menghindari terjadinya penyabotan rute yang biasa dilakukan antar kendaraan umum

4. Tarif bis yang relatif layak

5. Pelayanan yang nyaman

6. Pembayaran bukan di dalam kendaraan (on-board cash payment) untuk mengurangi kerugian akibat penyetoran yang dimanipulasi

7. Sistem tiket

8. Supervisi dan pengontrolan yang ketat

9. Keamanan di terminal dan di dalam busway yang dijaga

10. Integrasi sistem

Kemunculan busway sangat erat kaitannya dengan reformasi di era 1997. Krisis yang menghantam armada angkutan umum menyebabkan hanya sekitar 60% angkutan yang beroperasi di jalan raya, ditambah lagi engan harga suku cadang yang melambung, menyebabkan banyak perusahaan angkutan bangkrut, sementara tarif tidak bisa dinaikkan. Oleh karena itu muncullah pemikiran untuk menyelematkan angkutan umum. Didorong oleh semangat reformasi, sistem busway diluncurkan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem transportasi publik di Jakarta.

Proses kemunculan busway pun sangat menarik karena membuktikan komitmen politik yang tinggi antara Gubernur DKI dan DPRD. Dengan adanya kesepakatan dan kesolidan pemerintah dalam mendukung program ini, juga dengan dukungan dunia internasional, peluncuran BRT menjadi lancar. Beberapa staf ahli mendapatkan technical assistance di Bogota yang terkenal dengan sistem BRT-nya. Proses ini mempercepat munculnya sistem busway di Jakarta yang hanya makan waktu 2,5 tahun. Waktu yang cukup pendek jika dibandingkan dengan kemunculan busway di Bogota yang membutuhkan waktu 4 tahun. Karena proses yang dipercepat ini, maka armada pertama dibeli oleh pemerintah sebenarnya kurang sehat dalam sistem pengelolaan busway.

Pilihan transportasi bis dianggap tepat karena Indonesia sudah menguasai pengelolaan bis sejak lama. Beberapa sarana yang sudah ada pun dapat dimanfaatkan seperti jembatan penyeberangan.

Pengembangan busway dimulai sejak tahun 2004 dengan membangun Rute 1 (koridor 1) sepanjang 13 km dengan jenis bis Diesel. Rute 2 dan 3 sepanjang 33.8 km dibangun pada tahun 2006 dengan bis CNG (compressed natural gas). Dan pada tahun 2007, rute 4,5,6,7 dibangun sepanjang 51.2 km dengan konsep baru yaitu mulai digunakannya bis articulated CNG pada rute 5.

(a) (b)

Gb. 2. Jenis bis transjakarta tipe diesel (a) dan tipe CNG (b)

Busway juga memberikan image baru tentang transportasi bis di Indonesia, yaitu semua bis ber-AC, pelayanan cepat, yaitu dapat mempersingkat waktu tempuh separuhnya, tarif murah Rp 3500 (US 3 cent), atau tarif khusus pada pagi hari (jam 07.00) yaitu Rp 2000, frekuensi pemberangkatan 3-5 menit, dan pelayanan yang lebih lama yaitu dari jam 5 pagi hingga 10 malam.

Kemunculan busway juga menimbulkan dampak yang cukup sehat baik secara ekonomi maupun sosial dan kebiasaan pengguna kendaraan umum, misalnya tidak ada kebut-kebutan, berhenti hanya di perhentian bis, tidak ada masa menunggu lama, promosi kebiasaan jalan kaki, pedestrian yang dipercantik dan dikelola agar dapat digunakan dengan nyaman, kebiasaan menyeberang di jembatan penyeberangan dan kebiasaan untuk lebih tertib sebagai penumpang bis. Busway juga memungkinkan pengguna dari segala lapisan masyarakat. Kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi berubah, yaitu munculnya kebiasaan parkir kendaraan pribadi di daerah tertentu yang berdekatan dengan pemberhentian busway kemudian melanjutkan perjalanan dengan busway (park + ride and kiss + ride). Pola-pola baru ini membawa dampak kepada pengembangan daerah sepanjang koridor dan lebih atraktifnya kegiatan bisnis di daerah sekitar stasiun busway. Tercatat 14% pengguna kendaraan pribadi, 6% pengguna motor dan 5% pengguna taksi beralih ke busway.

Untuk menjaga kualitas pelayanan busway, berbagai kebijakan diterapkan kepada supir dan pegawai busway di antaranya denda atas beberapa tindakan yang tidak memuaskan atau pelanggaran aturan (Tabel 1)

Tabel 1. Denda terhadap Pelanggaran dalam Pengoperasian Busway

Pengelolaan busway membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bis diesel yang dibeli oleh pemerintah saat operasional busway pertama kali mempunyai pembiayaan yang relatif murah dibandingkan dengan bis CNG. Bis CNG membutuhkan biaya pengelolaan dua kali lipat biaya pengelolaa bis Diesel (Tabel 2). Untuk membiayai pengelolaan busway, pemerintah melakukan tender yang pemenangnya ditentukan berdasarkan harga terendah yang ditawarkan pengusaha, dengan masa kontrak 7 tahun, yaitu sama dengan usia bis.

Tabel 2. Biaya Pengoperasian Busway

Route/Bus Type

Cost/km

1 : Regular-diesel

Rp 6,000 (US$ 0.66)

2,3 : Regular -CNG

Rp 13,200 (US$ 1.45)

4,6,7 : Regular – CNG

Rp 12,600 (US$ 1.38)

5 : Articulated – CNG

Rp 18,700 (US$ 2.10)

3. Pengembangan Busway di Masa Mendatang

Pengembangan kapasitas busway di masa mendatang perlu dipikirkan mengingat saat pembukaan koridor 1, pengelolaan busway dapat mencapai BEP (Break Event Point) , namun pembangunan koridor selanjutnya mengalami hambatan dalam pencapaian BEP karena biaya operasional yang mahal dan penumpang masih sedikit.

Yang perlu dikembangkan sejalan dengan pengembangan busway adalah upaya pemadatan kota. Dibandingkan kota-kota Asia lainnya, Jakarta masih terlihat longgar dari segi densitas antara penduduk dengan luas lahan yang digunakan. Beberapa kota di dunia yang menerapkan sistem busway menempuh kebijakan untuk memadatkan kota dengan cara membangun apartemen, rumah susun atau perkantoran sekaligus perumahan. Dengan upaya ini, lahan untuk pengembangan busway tersedia dengan cukup. Tempat-tempat pemukiman yang padat harus dibangun dengan kapasitas jalan yang memadai.

Pengembangan kedua yang mungkin dapat dilaksanakan pembukaan koridor busway di jalan tol sehingga memungkinkan penumpang segala lapisan memanfaatkan busway. Konsep ini masih menjadi tarik ulur dengan pengusaha jalan tol. Tetapi belajar kepada masa inisialisasi busway, yang dibutuhkan sebenarnya adalah kemauan dan keberanian untuk melaksanakan konsep yang diyakini memberikan manfaat yang lebih baik kepada masyarakat banyak.